PERAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH PERBANKAN SYARIAH

PERAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

DALAM PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH

PERBANKAN SYARIAH

 

Oleh :

Abdul Rouf

NIM : 11220080

 

 

 

 

 

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2013

Normal
0

false
false
false

EN-US
X-NONE
X-NONE

MicrosoftInternetExplorer4

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt;
mso-para-margin-top:0in;
mso-para-margin-right:0in;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0in;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri (Vietnamese)”,”sans-serif”;}

A.    LATAR BELAKANG

Dalam perekonomian di Indonesia bank merupakan salah satu lembaga  keuangan yang sangat diakui. Keberadaan lembaga keuangan dalam system perekonomian dan sector keuangan pada khusunya merupakan hal yang penting. Hal ini terutamaberkaitan dengan masalah permodalan dan perputaran uang. Kegiatan usaha yang lazim dilakukan oleh bank dalam menyalurkan dana adalah pemberian kredit, investasi surat berharga, mendanai transaksi perdagangan nasional, penempatan dana di bank lain dan penyertaan modal saham. Dalam praktek lembaga keuangan terdiri dari perbankan dan non perbankan.[1]

Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang “Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum” dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang “Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat”.

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada 22 September 2004.[2]

Kondisi global tersebut mengancam sistem keuangan nasional, dan keadaan seperti ini menjadi syarat ancaman sistem keuangan negara seluruh dunia, terutama sistem perbankan mengalami tekanan. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan di Indonesia merupakan titik inti dalam usaha pemeliharaan stabilitas perekonomian. Dalam perbankan, basis yang paling mendasar adalah kepercayaan. Setiap bank yang didirikan punya modal yang amat sedikit dibandingkan aset mereka yang begitu besar. Ini bisa terjadi karena bank tersebut memang hanyalah lembaga antara bagi pihak-pihak yang mempunyai kelebihan uang, dan menjadi deposan dengan pihak yang memerlukan uang yang menjadi debitur. Seandainya kepercayaan lembaga antara ini tidak berfungsi baik, bahkan lembaga ini turut bermain, maka akibatnya bukan sekedar bank yang rugi tapi seluruh eksistensi kelembagaannya pun menjadi hilang. Dengan begitu, lembaga yang harus menjadi lembaga yang memobilisasikan dana terhenti fungsinya. Terhentinya fungsi ini akan amat mempengaruhi target-target pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi hanya bisa melalui investasi, dan investasi hanya bisa terjadi bila mobilisasi dana berlangsung dengan efisien dan efektif.

Salah satu cara dalam meningkatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada perbankan adalah diberikannya kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank serta penjaminan simpanan. Yang mana pengaturan itu diterapkan bermaksud berpihak kepada masyarakat sehingga masyarakat merasa yakin bahwa dana yang mereka titipkan pada bank menjadi aman dan tidak akan hilang.

Begitu pula dalam Islam yaitu usaha Abu Qatadah seorang pemimpin pada waktu itu menjamin terbayarnya hutang seorang yang sudah meninggal dunia, agar jenazahnya dapat segera dishalati peristiwa itu disebut akad kafalah yaitu jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung bank.

Bahwa Nabi Saw. tidak mau shalat mayit pada mayit yang masih punya

hutang, maka berkata Abu Qatadah:”Shalatlah atasnya ya Rasulullah,

sayalah yang menanggung utangnya, kemudian Nabi menyalatinya

(Riwayat Bukhari).

 

Didalam Sunnah abu Umamah juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Pinjaman hendaklah dikembalikan dan orang yang menanggung hendaklah membayar” (Riwayat Abu Daud)

 

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005.[3]

Dari pemaparan diatas kalau kita lihat dengan seksama seolah-olah LPS haya berperan terhadap perbankan konvensional saja. Sedangkan terhadap perbankan syariah masih belum jelas terkait peran dari LPS itu sendiri. Olehkarena itu penulis daam proposal ini mengangkat tema mengenai “PERAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM PENJAMINAN SIMPANAN NASABAH PERBANKAN SYARIAH” Supaya masyarakat dapat memahami tentang teran LPS dalam perbankan syariah.


 

    

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan LPS itu?

2.      Bagaimana fungsi, wewenang, serta tugas LPS?

3.      Bagaimana peran LPS dalam penjaminan simpanan Nasabah perbankan syariah?

 

C.    BATASAN MASALAH

Berdasakan rumusan masalah diatas maka penulis akan membatasi tulisan hanya pada ruang lingkup peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam simpanan nasabah perbankan syariah saja

 

D.    TUJUAN PENELITIAN

1.      Memahami dengan seksama apa yang dimaksud dengan lembaga penjamin itu sendiri.

2.      Mengetahui fungsi, wewenang, serta tugas lembaga penjamin simpanan.

3.      Mengetahui peran lembaga penjamin simpanan terhadap nasabah dalam perbankan syariah.

 

E.     MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini melalui dua pandangan diantaranya sebagai berikut :

1.      Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bernilai ilmiah bagi pengembangan khazanah ilmu pengetahuan tentang peran lembaga penjamin simpanan terhadap perbankan syariah.

2.      Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pengetahuan kepada para pembaca pada umumnya mengenai bagaimana peran lembaga penjamin simpanan  terhadap nasabah perbankan syariah apabila mengalami masaah dalam penyimpanan didalam perbankan syariah.

 

F.     PENELITIAN TERDAHULU

Pada Bagian ini diuraikan tentang penelitian atau karya ilmiah yang berhubungan dengan penelitian, untuk menghindari duplikasia. Di samping itu, menambah referensi bagi peneliti sebab semua konstruksi yang berhubungan dengan penelitian telah tersedia. Berikut ini adalah karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian, antara lain:

1.      Nining Anita dari Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman pada Rabu 29-Agustus-2012 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpanan Atas Simpanan Yang Tidak Dijamin Oleh Lembaga Penjamin Simpanan”. Dalam penelitian ini penulis menguraikan tentang perlindungan hukum bagi para nasabah yang simpanannya tidak dijamin oleh lembaga penjamin simpanan.

2.      Resi Anandra dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara-Medan pada 2011 dengan judul “ Pertanggung Jawaban Lembaga Penjamin Simpanan Terhadap Nasabah dan Bank”. Dalam penelitian ini penulis mengungkap tentang tanggung jawab oleh Lembaga Penjamin Simpanan terhadap nasabah dan juga kepada Perbankan

 

G.    KERANGKA TEORI

Dalam kerangka teori ini akan dibahas mengenai rumusan masalah yang telah dirumuskan seperti diatas dan juga sebagai initi atau pokok dari pembahasan proposal ini.

1.      Lembaga Penjamin Simpanan.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) adalah suatu lembaga independent yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang republic Indonesia Nomor 24  yang ditetapkan pada 22 November  tahun 2004 tentang lembaga penjamin simpanan.

Dasar hukum dari berdirinya Lembaga Penjamin simpanan itu sendiri adalah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 yang disahkan pada 22-November-2004 dan mulai di gunakan pada 22-september-2005 yang terdapat pada halam pertama sampai terakhir.

Selain itu pendirian LPS juga berdasarkan dengan beberapa hal yaitu mengenai pembelian kepercayaan nasabah terhadap perbankan yang dulu pernah hilang karena krisi yang terjadi pada tahun 1998.

 

2.      Fungsi, Wewenang, dan Tugas LPS

Lembaga Penjamin Simpanan juga memiliki fungsi, wewenang dan juga tugas tersendiri yang bertujuan untuk kenyamanan nsabah. Diantara funsi, wewenang dan tugas dari LPS sebagai mana disebutkan dalam Undang-Undang adalah:[4]

Fungsi dari Lembaga Penjamin Simpaanan

·      Menjamin simpanan para nasabah penyimpan

·      Turut aktif dalam memelihara stabilitas system perbankan sesuai kewenangan.

Sejak tangal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin oleh LPS maksimum 100 juta per nasabah per bank. Yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan  dari 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayar dari hasil s likuidasi bank tersebut. Tujuan kebijakan public penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan. Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, pemerintah kemudian mengeluarkan perpu No. 3 tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2004 tentang Lembaga penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp. 2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali apabila krisis global meluas atau mereda.[5]

Sementara dalam menjalankan sifat-sifatnya Lembaga Penjamin Simpanan memiliki tugas sebagai berikut :

·      Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan.

·      Melaksanakan penjaminan simpanan

·      Merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas system keuangan.

·      Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan penyelesaian Bank gagal yang tidak berdampak sistematik. Melaksanakan penanganan Bank gagal yang berdampak sistematik.

Lembaga Pejamin Simpanan juga dapat melakukan penyelesaian dan penanganan Bank gagal dengan kewenagan:

·      Menetapkan dan memungut prremi penjaminan.

·      Menetapkan dan memungut konstribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.

·      Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin Simpanan.

·      Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil peemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar keberhasilan bank.

·      Melakukan rekonsiliasi, verifikasi dan atau konfirmasi atas data tersebut pada angka 4.

·      Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.

·      Menunjuk, menguaskan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS melaksanakan sebagian dari tugas tertentu.

·      Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjamin simpanan.

·      Menjatuhkan sanksi administrative

 

3.      Peran lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan Syariah.

Pendirian lembaga Penjamin simpanan pada dasarnya dilakukan sebagai upaya pendirian perlindungan terhadap dua resiko yang berada didalam perbankan. Dalam menjalankan usaha bank biasanya  hanya menyisakan sebagian kecil dari simpanan yang diterimanya untuk berjaga-jaga apabila ada penarikan dana oleh nasabah. Sebentara sebagian besar dari simpanan dialokasikan untuk pemberian kredit. Keadaan ini enyebabkan perbankan tidak dapat memenuhi permintaan dengan jumlah besar dengan segera atas simpanan nasabanh yang dikelolanya bila terjadi penarikan tiba-tiba oleh nasabah dalam jumlah yang sangat besar.[6]

Keterbatasn dalam penyediaan dana cash ini adalah karena bank tidak dapat menarik segala pinjaman yang telqah disalurkan. Bila bank tidak dapat memenuhi permintaan penarikan simpanan oleh nasabahnya, nasabah akan menjadi panic dan akan menutup rekeningnya yang ada pada bank tersebut sekalipun abnk tersebut sebenarnya dalam keadaan sehat.

Sesuai ketentuan Pasal 3 PP Nomor 39/2005 dan pasal 23 peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006 simpanan bank syariah yang dijamin oleh LPS yaitu:[7]

·      Giro berdasarkan prinsip wadiah (untuk BUS dan UUS)

·      Tabungan berdasarkan prinsip wadiah

·      Tabungan berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau prinsip mudlarabah muqoyyad dan resikonya ditanggung oleh bank.

·      Deposito berdasarkan prinsip mudlarabah mutlaqoh atau dengan prinsip mudlarabah muqoyyad yang resikonya ditanggung oleh bank.

·      Simpanan berdasarkan prinsip syariah lainya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapatkan pertimbangan LPP (Bank Indonesia)

 

Mengenai pembayaran klaim penjamin simpanan nasabah bank yang dicabut izinnya, LPS memiliki hak untuk menggantikan posisi nasabah penyimpan tersebut (hak subrograsi) dalam pembagian hasil likuidasi bank. Pemberian kewenagan hak dan kewenangan tersebut dimaksudkan untuk mengoptimalkan tingkat pemulihan (recovery rate) bagi LPS, sehingga keberlangsungan program penjaminan simpanan akan terus dijaga.

Sementara itu dalam penjaminan terhadap nasabah perbankan syariah pihak Lembaga Penjamin Simpanan sebenarnya hampir sam dengan bank konvensionsesuai akad awal yang dipakai oleh nasabah pada saat awal melakual. Namun yang ada dalam perbankan syariah adalah sesuai akad awal saat nasabah melakukan penyimpanan terhadap uangnya.[8]

H.    METODE PENELITIAN

Dalam proposal ini penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu lebih kepada kajian pustaka untuk mendapatkan seluruh bahan dalam menyelesaikan proposal ini.

Dalam mengumpulakan seluruh data untuk mendukung terselesaikannya proposal ini penulis banyak mencari literature dari buku-buku terkait Lembaga Penjaminan Simpanan dan juga peran Lembaga penjamin Simpanan dalam penjaminan nasabah perbankan syariah.

 

I.       SISTEMATIKA PENULISAN

Dalam pembahasan penelitian yang berjudul “Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan Syariah” ini  disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

Dalam sistematika pembahasan, peneliti akan sedikit menguraikan tentang gambaran pokok pembahsan yang akan disusun dalam sebuah laporan penelitian secara sistematis.

 

·    LATAR BELAKANG : Dalam latar belakan ini memuat tentang bagaimana sejarah berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan besrta dasar hukum dari berdirinya lembaga penjamin simpanan dan mengenai alasan kenapa penulis mengangkat tema pada proposal ini dengan judul “Peran Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Penjaminan Simpanan Nasabah Perbankan Syariah”

·    RUMUSAN MASALAH : Dala rumusan masalah ini memuat permasalah yang akan dibahas oleh penulis dalam proposal ini yaitu mengenai peran dari Lembaga Penjamin Simpanan terhadap nasabah perbankan Syariah.

·    TUJUAN MASALAH : Tujuan masalah yang ada adalah untuk mengetahui secara detait terkait peran Lembaga Penjamin Simpanan kepada nasabah perbankan syariah.

·    MANFAAT PENELITIAN : Manfaaat dalam penelitian ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat terkait keberadaan dan peran Lembaga Penjamin simpanan. Selain itu juga untuk mengembalikan kepercayaan dari masyarakat kepada perbankan.

·    PENELITIAN TERDAHULU : Penelitian terdahulu disini yaitu mengenai beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa mahasiswa terhadap Lembaga Penjamin Simpanan.

·    KERANGKA TEORI : yaitu membahas isi dari proposal ini, mulai dari pengertian, fungsi, tugas, wewenang dan juga peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam perlindungan terhadap nasabah perbankan syariah.

·    METODE PENELITIAN : merupakan jenis/metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan proposal ini.

·    SISTEMATIKA PENULISAN : merupak susunan mulai dari awal hingga akhit dari peyelesaian proposal ini.


 

DAFTAR PUSTAKA

https://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2009/07/11/perbedaan-lps-untuk-bank-konvensional-dengan-lps-untuk-perbankan-syariah/

https://menyunting lembaga penjamin simpanan.wikipedia.htm

Kasmir, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

Lembaga penjamin Simpanan-wikipedia bahasa Indonesia, ensikopedia bebas.htm

Pasal 3 PP Nomor 39/2005 dan Pasal 23 peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006

Djaslim.Saladin, 1994, Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank, Jakarta : C.Rajawali.

Tatang S. Herisman, 2004, transaksi Operasional Bank Konvensional, bandung : Politeknik Pajajaran

UU Nomor 2004 tahun 2004

 


[1] Tatang S. Herisman, 2004, transaksi Operasional Bank Konvensional, bandung : Politeknik Pajajaran

[2] https://menyunting lembaga penjamin simpanan.wikipedia.htm

[4] UU Nomor 2004 tahun 2004

[5] Lembaga penjamin Simpanan-wikipedia bahasa Indonesia, ensikopedia bebas.htm

[6] Kasmit, 2002, Dasar-Dasar Perbankan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada

[7] Pasal 3 PP Nomor 39/2005 dan Pasal 23 peraturan LPS Nomor 1/PLPS/2006

[8] SaladinDjaslim, 1994, Dasar-Dasar Manajemen Pemasaran Bank, Jakarta : C.Rajawali.

 

 

TANAH ABSENTEE

MAKALAH  HUKUM AGRARIA

 

TANAH ABSENTEE

 

Dosen Pengampu : Musleeh Harry,SH.,M.Hum

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh:

Wafirotul Haifa                 (11220010)

Firda Afwa Arifiana         (11220011)

                                              Eny Wulansari                  (11220015)

                                              Rizal Nur Yadi                 (11220041 )

          Bahrul Ilmi                        (11220098)

 

 

HUKUM BISNIS SYARI’AH “A”

FAKULTAS SYARIÁH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2012

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar Belakang

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadanga terkadang ditemukan ada akta Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya berstatus absentee.

Dalam UUPA telah menjelaskan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan . maka seorang tanah mempunyai tanah yang luas cenderung untuk menjadi tuan tanah atau landlord dan landlord itu cenderung untuk tidak bertempat tinggal di daerah pertanihannya atau diman tanahnya itu terdapat.

Dalam pertanian mengingat rationnya maka syarat akan tempat tinggal itu kiranya masih dapat diperlukan sesuai dengan ketentuan tentang absentee yaitu tidak ada keberatan jika petani penggarap bertempat tinggal dikecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya asala jarak tempat tinggal pengarap dan tanah yang bersangkutam masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara efisien.

Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan terkadanga terkadang ditemukan ada akta Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya berstatus absentee.

 

 

 

 

 

  1. B.     Rumusan Masalah
    1. Apa pengertian tanah Absentee ?
    2. Apa tujuan larangan tanah Absentee ?
    3. Apa tujuan larangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum dan minimum tanah ?
  2. C.    Tujuan
    1. Untuk menjelaskan pengertian tanah Absentee.
    2. Untuk menerangkan larangan tanah Absentee.
    3. Untuk menguraiklarangan pembatasan kepemilikan tanah secara maksimum dan minimum tanah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. 1.      Pengertian tanah absentee

Dalam pembahasan pasal 10 UUPAtelah dijelaskan bahwa yang mempunyai tanah pertanian wajib mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, sehingga dibentuklah ketentuan untuk menghapuskan penguasaan tanah pertanian yang disebut dengan tanah absentee.

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah tersebut[1]. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam pasal 3 peraturan pemerintah No.224 tahun 1960 dan pasal 1 peraturan pemerintah No.41 taqhun 1964 ( sebagai tambahan pasal 3a-3e ) sedangkan dasar hukumnya adalah pasal 10 ayat 2 UUPA. Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut :

“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.[2]

 

 

 

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :

“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.

Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain :

  1. Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.
  2. Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.
  3. Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
  4. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.

5.    Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.

Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya[3]. Namun larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien.

Contoh kasus:

Prioritas utama sebagai yang disebut di dalam Undang-Undang adalah petani penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan masih mempunyai ikatan keluarga dengan bekas pemilik. Tetapi panitia Landreform Daerah Klaten memprioritaskan sebagai yang disebut oleh undang-undang. Alasan yang mendasari kebijakan Panitia Landreform Kabupaten Klaten dalam melaksanakan redistribusintanah kelebihan karena berstatus tanah absente, adalah bahwa pemegang hak atas garapan atau tanah sanggan di masa lampau  mempunyai beban berat. Petani pemegang hak atas tanah pada masa penjajahan selain mempunayai hak untuk memetik hasil dari tanah yang digarapnya, juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap perusahaan perkebunan atau terhadap desa. Kewajiban dari pemegang hak atas tanah garapan terhadap perkebunan antara lain ialah bekerja beberapa hari di dalam satu minggu tanpa dibayar.[4]

Didaerah klaten tidak terdapat tanah nkelebihan dari  batas maksimum. Tanah yang didistribusikan didalam pelaksanaan landreform didaerah klaten adalah tanah absentee.

  1. 2.      Tujuan larangan tanah absentee

Tujuan dari larangan pemilikan tanah secara absentee adalah:

  1.  agar hasil yang diperoleh dari pengusahaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil[5].
  2. karena kepentingan sosial danperlindungan tanah, karena ada kekhawatiran dari pemerintah kalau tanah absente dibiarkan akan menjadi tanah yang terlantar dan kurang produktif sebab tempat tinggal pemiliknya jauh. Untuk itu pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan yaitu dengan cara melarang pemilikan tanah secara absente ini.
  3. Tanah penggarapan menjadi tidak efisien, termasuk mengawasinya dan pengangkutan hasil-hasilnya. Hal ini keadaan dapat menimbulkan pengisapan dari orang-orang kota terhadap desa, baik dengan sistem sewa ataupun bagi hasil. Dengan demikian keringat dan tenaga para petani juaga dinikmati oleh pemiliknya yang tidak berada didaerah tersebut

Pemilikan tanah absente ini dilarang oleh pemerintah kecuali pegawai negeri dan ABRI .Sedangkan pegawai negeri dan ABRI masih dimungkinkan sebab golongan ini adalah abdi negara yang tugasnya dapat berpindah-pindah tempat.maka mereka boleh mempunyai tanah absentee dengan luas yang dikurangi yaitu 2/5 dari luas maksimum yang ditolerir oleh UU 56/60 dan kemudian dengan surat edaran dari menteri agraria yang ketika itu dijabat oleh Mr. Sadjarwo  diperluas lagi kemungkinan seorang pegawai negri yang disebut kan dalam pasal 33 PP 224 tahin 1961 termasuk diperbolehkannya menerima hobah tanah pertanian untuk persediaan hari tuanya, denga tetap maksimum yang diperbolehkannya 2/5 dari luas yang diperbolehkannya. Maksud dengan pegawai negari adalah baik pegawai negeri, anggota ABRI, pengawai perusahaan negara dan jika hibah itu diberikan kepada seseorang waris yang merupakan istri atau anak pegawai negara, asal saja mereka masih menjadi tanggunagan dari pegawai negeri tersebut.[6]

Jika seseorang penduduk kecamatan tersebut pindah ke kecamatan lain selam dua tahun berturut-turut, maka daia harus mengalihkan hak atas tanah pertaniaan kepada oranga lain di kecamatan tersebut. Adapun penduduk kecamatan  itu diartikan jiak dia mempunyai kartu penduduk di kecamatan tersebut dan inilah yang merupakan penyelundupan formal dari suatu peraturan. Yang tepat  lagi arti dari penduduk kecamatan seharusnya bertempat tinggal secara fisik di kecamatan tersebut dan mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut.

 Bagi pemilik tanah absente dapat menyelamatkan haknya antara lain dengan jalan :

  1. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat disekitar lokasi
  2. Ditukarkan kepada penduduk setempat
  3. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal
  4. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat  ( biasanya berupa wakaf atau hibah ).

Yang wajib dilakukan oleh seorang pemilik tanah pertanian yang meningalkan kecamatan tempat letak tanahnya sehingga ia menjadi pemilik absente adalah melaporkannya kepada pejabat setempat. Jika hal itu tidak dilaporkannya kepada pejabat setempat, maka didalam waktu 2 tahun terhitung sejak ia meninggalkan tempat kediamannya itu ia wajib untuk memindahkan hak atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal dikecamatan itu. Jika hal itu dilaporkannya kepada pejabat setempat yang berwenang maka kewajiban ituharus dilaksanaknnya dalam waktu 1 tahunterhitung sejak berahirnya jangka waktu 2 tahun ia meninggalkan tempat tingalnya. Dikecualikan dari kewajiban tersebut pemilik yang berpindah dari kecamatan yang berbatasan dengan tempat tingalnya semula dan pemilik yangbmenjalankan tugas negara atau mennaikan tugas agama.

Jika seseorang mendapatkan warisan tanahpertanian yang letaknya dikecamatan lain kecuali jika ia pegawai negeri maka didalam waktu satu tahun sejak meninggalnya pewaris tanah itu wajib dipindahkannya kepada oarng yang bertempat tinggal dikecamatan tersebutr atau ia sendiri pindah ke kecamatan itu. Sesuai dengan asas umum diatas, maka biarpun tidak ada penegasannya kiranya jika penerima waris bertempatr tinggal dikecamatan yang berbatasan, ia tidak terkena kewajiban itu. Jangka waktu 1 tahun itu dapat diperpanjang oleh menteri agraria jika misalnya pembagian warisannya belum selesai.

Sesuai dengan yang dikemukakan diatas bahwa semua bentuk pemindahan hak milik atas tanah pertanian yaitu jual beli, hibah, dan tukar menukar yang mengakibatkan pemilikan baru secara absente dilarang. Larangan itu juga mengenei golongan pegawai negeri keculai dalam hibah dan waris. Misalnya seorang pegawai negeri yang bertempat tinggal di daerah cijantung jakarta tidak boleh membeli tanah sawah didaerah cipayung bogor.

Sanksi yang akan dikenakan jika kewajiban diatas tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap sesuai yang diterangkan diatas maka tanah yang bersangkurtan akan diambil oleh pemerintah untuk kemudian didistribisikan dalam rangka landreform. Dan kepada bekas pemilinya diberikan ganti kerugian sesui peraturan yang berlaku bagi para bekas pemilik tanah kelebihan.

Larangan pemilian tanah secara absente itu hanya mengenai tanah pertanian.larangan pemilikan tanah absente ini berlaku juga terhadap bekas pemilik tanha berlebihan, jika sisa tanh yang menurut ketentuan undang-undang no 56 Prp tahun1960 bileh tetap dimilikinya, letaknya ditempat lain diluar kecamatan tempat tinggalnya.[7]

 

 

 

 

SURAT KEPUTUSAN MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA

No. Sk. 35/Ka/1962

tentang

PELAKSANAAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN

ABSENTEE

 

MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA,

 

MENIMBANG :

            Bahwa kesempatan bagi pemilik tanah pertanian absenteeuntuk mengalihkan hak ats tanahnya atau pindah kecamatan letak tanah telah berakhir pada tanggal 31 Desember 1962 sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961, maka karena itu perlu diatur pelaksanaan penguasaan lebih lanjut.

 

MENGINGAT :

  1. Undang-Undang pokok Agraria (Undang-Undang No.5 tahun 1960 LN tahun 1960 No. 104) ;
  2. Peraturan Pemerintah No.224 tahun 1961 dan Surat Keputusan Menteri Agraria tanggal 8 Januari 1962 No. Sk. VI/6/Ka ;
  3. Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 131 tahun 1961.

 

MEMUTUSKAN  :

MENETAPKAN :

Pertama :

            Menyatakan tanah-tanah pertanian yang pemiliknya bertempat tinggal di luar daerah Kecamatan letak tanah, sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

Kedua :

            Menyerahkan wewenang untuk melaksanakan penguasaan tanah-tanah tersebut dalam ketentuan pertama kepada Panitia Landreform Daerah Tingkat II dengan dibantu Panitia Landreform Kecamatan dan Panitia dan Panitia Landreform Desa, dengan mengingat peraturan-peraturan yang berlaku, serta mewajibkan untuk :

  1. Menetapkan besarnya ganti rugi
  2. Mengurus pemberian surat izin mengerjkan tanah kepada para penggarapnya
  3. Menyelenggarakan redistribusinya.

Ketiga :

              Ketentuan Pertama dan Kedua tersebut diatas, tidak berlaku atas tanah-tanah pertanian absentee yang selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 1962 :

  1. Oleh pemiliknya tellah dialihkan kepada orang yang bertempat tinggal di Kecamatan letak tanah, di muka pejabat pembuat akta tanah
  2. Pemiliknya telah pindah ke Kecamatan letak tanah dan kepindahannya itu telah telah terdaftar di desa dan diketahui oleh Camat yang bersangkutan
  3. Oleh pemilik tanah telah diajukan permohonan izin untuk dihibahkan, dan surat permohonannya telah sampai di Departemen Pertanian dan Agraria.

Keempat :

            Pemilik tanah pertanian absentee yang telah mengajukan permohonan hibah kepada Menteri Pertanian dan Agraria sedang permohonannya ternyata kemudian ditolak, diberi kesempatan untuk mengalihkan tanahnya kepada petani di tempat letak tanah atau pindah ke Kecamatan letak tanah, selambat-lambatnya dalam tempo 6 bulan sejak tanggal pemolakannya. 

Kelima :

            Para pensiunan dan janda pensiunan Pegawai Negeri diberi kesempatan untuk memenuhi pasal 3 ayat 1 dari Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 daam waktu satu tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 1963.

Keenam :

            Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1963. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, maka Keputusan ini akan dimuat dalam Tambahan Lemabarn Negara Republik Indonesia.[8]

 

 

 

 

 

 

 

3. Tujuan Larangan Pembatasan Kepemilikan Tanah Secara Maksimum dan Minimum Tanah

  1. Luas Maksimum Tanah Pertanian

Luas maksimum tanah pertanian ditetapkan berdasarkan kepadatan penduduk dan jenis tanah, dengan catatan harus memperhatikan keadaan sosial dan ekonomi daerah yang bersangkutan. Hal ini tegas disebutkan dalam Keputusan Menteri Agraria No. Sk/978/Ka/1960, tanggal 31 Desember 1960.

Batas maksimal tanah pertanian yang dapat dimiliki tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Jumlah penduduk

Tiap kilometer persegi

Penggolongan

daerah

Jenis Tanah

Sawah

Tanah Kering

> 50

Tidak Padat

15

20

51 – 250

Kurang Padat

10

12

251 – 400

Cukup Padat

7,5

9

< 401

Sangat Padat

5

6

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  1. Batas Minimal Tanah Pertanian.

Menurut Pasal 8 UU No 56 Prp Tahun 1960, luas minimal tanah pertanian yang harus dimiliki oleh petani sekeluarga adalah 2 hektar, dan inilah tujuan yang secara berangsur-angsur harus diusahakan untuk dicapai.[9]

BAB III

PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Tanah absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar daerah tempat tinggal yang mempunyai tanah tersebut. Dengan kata lain tanah absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya.

Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :

“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.

      Pada inti pokok dari undang-undang tersebut adalah pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya. Namun larangan tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak antara tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih memungkinkan untuk mengerjakan tanahnya secara efisien

 

  1. B.     Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa meluaskan wawasan pembaca mengenai Tanah Absentee. Namun makalah kami masih jauh dari kesempurnaan oleh karenanya, kami mengharapkan kritik dan saran pembaca yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata semoga makalah ini bermanfaat bagi semua khususnya pembaca dan penulis. Amin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Boedi. 1962. Hukum Agraria Jilid I. Jakarta : Djambatan.

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Djambatan.

Padmo, Soegijanto. 2000. Landreform. Jakarta : Media Pressindo.

Parlindungan, A.P. 1987. Landreform di Indonesia Suatu Studi Perbandingan. Medan : Anggota IKAPI.

Ranoemihardja, Atang. 1982. Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia. Bandung : Tarsito.

Soebargo, R. 1962. Perundang-Undangan Indonesia. Bandung : NN Eresco. 

Soedalhar. 1984. UUPA dan Lanreform Beberapa Undang-Undang dan Peraturan Hukum Tanah. Surabaya : Karya Bhakti.

Supriadi. 2006. Hukum Agraria. Palu : Sinar Grafika.

Wiradi, Gunawan. 2001. Prinsip Reforma Agraria. Jakarta : Lapera Pustaka Utama.

Mujiono. 1997. Politik dan Hukum Agraria. Yogyakarta : Liberty.

 

 

 

 

 


[1] Boedie harsono,hukum agrarian Indonesia, ( Jakarta:djambatan,2008) 384

[2] Parlindungan,landreform di Indonesia suatu studi perbandingan,( medan: anggota IKAPI,1987)123

[3] Soegijanto padmo,landreform, ( Jakarta: medi presindo,2000), 89

[4] Soegijanto Padmo, Landreform, (Jakarta : Media Pressindo, 2000), 89

[5] Budi harsono, hukum agrarian,385

[6] Parlindungan, landrefrom di Indonesiah, 124

[7] Boedi Harsono, Hukum Agraria Jilid I, (Jakarta : Djambatan,1962), 309.

[8] Soedalhar,UUPA dn landreform beberapa undang-undang dan peraturan hukum tanah,(Surabaya:karya bakti,1984)122.

[9]

MINIMNYA AKTA LAHIR DI LUAR NIKAH

KLIPING MINIMNYA AKTA LAHIR DI LUAR NIKAH

Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semestet

” Hukum Perdata Islam”

Dosen Pengampu :

RISMA NUR AFIFAH, M.H

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh:

  1. Abdul Rouf                 11220080

 

 

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARI’AH

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

 

 

2012

 

ANALISIS

Dari kasus yang terjadi diatas, kita dapat menganalisis tiga kasus sekaligus, yaitu : Anak luar nikah, pencatatan perkawinan, dan juga akta kelahiran. yang mana ketiga kasus tersebut masih minim diketahui oleh masyarakat awam seperti contoh kasus di atas.

Kasus diatas membuktikan bahwa pencatatan perkawinan sangatlah penting, selain untuk diri mereka sendiri (suami-istri) pencatatan perkawinan juga berguna untuk kelanjutan atau masa depan dari anak-anak mereka. supaya anak-anak mereka mendapat pengakuan atau kepastian hukum yang pasti. kebanyakan masyarakat awam tidak begitu menganggap penting akan pencatatan perkawianan, karena mereka hanya membutuhkan wali saat melakukan akad nikah. Tanpa merka sadari bahwasanya akibat dari tidak dicatatkannya perkawinan mereka akan berimbas pada anak-anak mereka.

Pencatatan perkawinan sendiri merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. pencatatan perkawinan tidak dijelaskan secara mendetail dalam Al-Qur’an maupun hadist,[1] namun pencatatan perkawianan dalam pelaksanaannya diatur dengan PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Mentri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 BAB II Pasal 2 Ayat 1.[2] Pencatatan perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.[3]

Selanjutnya  dalam  penjelasan  pasal  tersebut  dikemukakan  bahwa  tidak  ada perkawinan di luar masing-masing agama dan kepercayaan itui. Kemudian dalam Pasal 2 ayat (2) . Undang-Undang  No.  1  Tahun  1974    tentang  Perkawinan  disebutkan  bahwa  tiap-tiap  perkawinan harus dicatat menurut peraturan  yang berlaku. Peraturan  yang dimaksud adalah  Undang-Undang No.  22  Tahun  1946  dan  Undang-Undang  No.  34  Tahun  1954.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 5 & 6 mengenai pencatatan perkawinan mengungkapkan beberapa garis hukum yaitu :

Pasal 5

1)      Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2)      Pencatatan  perkawinan  tersebut  apada  ayat  (1),  dilakukan  oleh  Pegawai  Pencatat  Nikah sebagaimana  yang  diaturdalam  Undang-undang  No.22  Tahun  1946  jo  Undang-undang  No.  32 Tahun 1954.

Pasal 6

1)      Untuk  memenuhi  ketentuan  dalam  pasal  5,  seyiap  perkawinan  harus  dilangsungkan  dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

2)      Perkawinan  yang  dilakukan  di  luar  pengawasan  Pegawai  Pencatat  Nikah  tidak  mempunyai kekuatan Hukum.[4]

Bahkan para Ulama dan ahli hukum juga berpendapat tentang pencatatan perkawinan yang masih sering di lalaikan oleh masyarakat. Sebagian  ulama  dan  ahli hukum berpendapat bahwa perkawinan seperti itu sah apabila  dilakukan sesuai ketentuian Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu  dilakukan menurut hukum masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya.  Sedangkan  pencatatan  perkawinan  merupakan tindakan  adminstrasi  saja,  apabila  tidak  dilakukan  tidak  mempengaruhi  sahnya  perkawinan  yang  telah dilaksanakan itu Tetapi di pihak lain menganggap perkawinan yang tidak dicatatkan tidak sah dan dikategorikan sebagai nikah fasid (rusak),  sehingga  bagi pihak yang merasa dirugikan akibat dari  perkawinan  tersebut  dapat    dimintakan  pembatalan  kepada  Pengadilan  Agama  karena keetentuan    dalam    Pasal  2  ayat  (2)  Undang-Undang  No.  1  Tahun  1975  tentang  Perkawinan tersebut,  merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  terpisahkan  dan  harus  dilaksanakan  secara     kumulatif, bukan anternatif, secara terpisah dan  berdiri sendiri.[5] Sedangkan menurut Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka bahwa ketentuan tersebut bersifat imperatif. Artinya, ketentuan tersebut bersifat memaksa.[6]

 

Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang ketika terlahir ke dunia telah memiliki dosa dan secara biologis tidak ada seorang pun anak terlahir tanpa memiliki bapak . Mengenai beragamnya penyebutan terhadap status anak sendiri hendaknya harus disikapi dengan bijak kaitannya dengan dukungan kita terhadap perlindungan anak.

Banyak pengertian dari istilah “anak luar nikah” dalam aturan hukum yang berlaku. Beberapa aturan hukum yang menguraikan tentang istilah “anak luar nikah” adalah sebagai berikut :

Anak diluar nikah sendiri adalah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan diluar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentunya akan melekat pada anak yang dilahirkan diluar pernikahan tersebut atau juga disebut anak zina.[7]

Undang-Undang ini tidak secara tegas memberikan pengertian tentang istilah “anak luar nikah” tetapi hanya menjelaskan pengertian anak sah dan kedudukan anak luar nikah. Hal ini sebagaimana bunyi Pasal 42 – 43 yang pada pokoknya menyatakan :

“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”

Dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas kiranya dapat ditarik pengertian bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan dan hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya saja.[8]

Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak luar nikah tersebut, karena mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya seperti anak sah karena secara hukumnya mereka hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.[9] Anak luar nikah tidak akan memperoleh hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena ketidakabsahan pada anak luar nikah tersebut.Akibat dari anak luar nikah adalah sang anak tidak tidak dapat mendapat hak sebagai anak sah dan sang anak tidak bisa menuntut ayahnya untuk memenuhi hak-hak anak tersebut kecuali sang ayah sudah mengakuinya.

Anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan bapaknya, yaitu dengan cara memberi pengakuan terhadap anak luar nikah. Pasal 280 – Pasal 281 KUHPerdata menegaskan bahwasanya dengan pengakuan terhadap anak di luar nikah, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau ibunya.[10] Adapun prosedur pengakuan anak diluar nikah, diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.[11]

oleh karena hal itu warga yang berada di daerah Surabaya Timur menginginkan status anak mereka sama dengan status anak hasil nikah resmi (anak sah) karena mereka mengkhawatirkan hal-hal yang tidak mereka inginkan dari hasil anak luar nikah tersebut, seperti halnya Akta kelahiran. Mereka mengaku kesulitan membuat Akte kelahiran karena belum tercatatnya perkawinan mereka. Mereka awalnya menganggap jika sudah melakukan pekawinan dan disaksikan oleh para wali maka sudah cukup, mereka tidak mempunyai fikiran untuk mendaftarkan perkawinan mereka di Pengadilan Agama dan mendapatkan Buku Nikah. Karena para masyarakat tersebut mengira bahwasanya pembuatan akta kelahiran sendiri tidak menyertakan buku nikah.

Akta kelahiran adalah dokumen pengakuan resmi orang tua kepada anaknya dan negara. Akta kelahiran dicatat dan disimpan di Kantor Catatan Sipil Dan Kependudukan. Akta kelahiran juga mempunyai arti penting bagi diri seorang anak, tentang kepastian hukum si anak itu tersendiri.

Kelahiran, kematian dan perkawinan adalah tiga hal penting dalam hidup manusia. karena ketiganya adalah peristiwa hukum yang sangat berarti bagi manusia. Hukum harus memfalisitasi karena berhubungan dengan perlindungan hak pada setiap diri individu. hal ini berkaitan bahwa hukum mempunyai fungsi yang ideal untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
tentang penyelenggaraan akta kelahiran dimasukkan dalam kegiatan sipil.[12]

Dalam Kompilasi Hukum Islam pentingnya akta kelahiran dibahas dalam BAB XIII Pasal 103 yaitu :

  1. Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
  2. Bila  akta kelahiram  alat buktilainnya  tersebut dalam  ayat (1) tidak  ada,  maka Pengadilan  Agama dapat  mengeluarkan  penetapan  tentang  asal  usul  seorang  anak  setelah  mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.
  3. Atas  dasar  ketetetapan  pengadilan  Agama  tersebut  ayat  (2),  maka  instansi  Pencatat  Kelahiran yang  ada  dalam  daerah  hukum  Pengadilan  Agama  trwebut  mengeluarkan  akta  kelahiran  bagi anak yang bersangkutan.[13]

 

Demikianlah Analisa dari kasus yang terjadi didaerah Surabaya Timur, yang dimana sebagian masyarakat menginginkan akta anak luar nikah disamakan derajatnya dengan akta resmi. Karena mereka merasa kebingunggan denga keadaan anak mereka yang tidak mempunyai akta kelahiran. Selain itu kuranganya pengetahuan masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  • Prof. R. subekti, S.H. dan R. Tjitrosudibo.2008, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta : Pradnya Paramita.
  • Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, 1989, Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya.
  • Zainudin.Ali, 2006,  Hukum Perdata Islam di indonesia, Jakarta : Sinar Grafika
  • Mannan.Abdul, 2002,  Aneka  Masalah  Hukum  Materiel    dalam  Praktek  Pengadilan  Agama,  Jakarta:  Pustaka Bangsa Press.
  • Kompilasi Hukum islam


[1] Ali Zainudin, Hukum Perdata Islam di indonesia, 2006, Jakarta : Sinar Grafika. (Hal 26)

[2] PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Peraturan Mentri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 BAB II Pasal 2 Ayat 1.

[3] undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 BAB II Pasal 2 ayat 1

[4] Ali Zainudin, Hukum Perdata Islam di indonesia, 2006, Jakarta : Sinar Grafika.(hal.27)

[5] Abdul  Mannan,  Aneka  Masalah  Hukum  Materiel    dalam  Praktek  Pengadilan  Agama,  Jakarta:  Pustaka

Bangsa Press,  2002, hal. 50.

[6] Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Aneka Cara Pembedaan Hukum. Bandung: PT.   Citra Aditya, 1989, hal.21.

[7] Undang-Undang No 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan

[8] file://anakdiluar nikah.htm

[9] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1

[10] KUHPerdata pasal 280-281.

[11] Pasal 49 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

[12] file:///Kekuatan Akta Kelahiran Sebagai Sarana Untuk Menentukan Asal-Usul Anak. dunia hukum.htm

[13]Kompilasi Hukum Islam, BAB XIII Pasal 103, ayat 1-3

Pemilu Orde Lama

PEMILIHAN UMUM

ORDE LAMA, ORDE BARU, DAN MASA REFORMASI

  1. PENGERTIAN PEMILU

Dari berbagai sudut pandang, banyak pengertian mengenai pemilihan umum. Tetapi intinya adalah pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan asas kedaulatan di tangan rakyat sehingga pada akhirnya akan tercipta suatu hubungan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dan, ini adalah inti kehidupan demokrasi.

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata ‘pemilihan’ lebih sering digunakan.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di Negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga dipakaioleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.

Pemilu dapat dipahami juga sebagai berikut:

Dalam undang-undang nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan umum dalam bagian menimbang butir A sampai C disebutkan:

Bahwa berdasarkan undang-undang dasar 1945, negara republik indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat;

Bahwa pemilihan umum merupakan sarana untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara

Bahwa pemilihan umum umum bukan hanya bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, melainkan juga merupakan suatu sarana untuk mewujudkan penmyusunan tata kehidupan Negara yang dijiwai semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian juga dalam bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: “pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan republik indonesia yang berdasarkan pancasila dan undang-undangn 1945.

Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Asas Pemilu: Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

  1. SISTEM PEMILU

 

  1. Sistem perwakilan distrik (single member constituency)

Sistem distrik merupakan sistem pemilu yang paling tua dan didasarkan pada persatuan geografis, dimana satu kesatuan geografis mempunyai satu wakil di parlemen.Kelemahan:

  • Kurang memperhatikan partai kecil/minoritas.
  • Kurang representatif karena calon yang kalah kehilangan suara pendukungnya
  • Kebaikan
  • Calon yang dipilih dikenal baik karena batas distrik
  • Mendorong kearah integrasi parpol, karena hanya memperebutkan satu wakil
  • Sederhana dan mudah dilaksanakan
  • Berkurangnya parpol memudahkan pemerintahan yang lebih stabil (integrasi).

 

  1. Sistem Proporsional

 

Sistem Proporsional adalah seluruh wilayah merupakan satu kesatuan. Jadi seperti partai kecil yang memiliki suara di Papua, Kalimantan, dan lain-lain, bisa dijumlahkan, sehingga Sistem Proporsional memungkinkan partai-partai kecil berkiprah di parlemen. Jika mereka kalah di wilayah pemilihan tertentu, partai-partai kecil tidak otomatis gugur, karena masih ada akumulasi suara sisa yang memungkinkan mereka memperoleh kursi di DPR.

Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang diperoleh Wilayah negara dibagi-bagi kedalam daerah-daerah tetapi batas-batasnya lebih besar dari pada batas sistem distrik. Kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa dikompensasikan dengan kelebihan daerah lain. Terkadang, dikombinasikan dengan sistem daftar (list system), dimana daftar calon disusun berdasarkan peringkat.

Kelemahan :

  • Mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai-partai baru.
  • Wakil lebih terikat dan loyal dengan partai dari pada rakyat atau daerah yang diwakilinya.
  • Banyaknya partai bisa mempersulit terbentuknya pemerintah stabil.

Kelebihan :

Setiap suara dihitung, dan yang kalah suaranya dikompensasikan, sehingga tidak ada suara yang hilang.

  1. Sistem Gabungan

Sistem Gabungan merupakan sistem yang menggabungkan sistem distrik dengan proporsional sistem ini membagi wilayah negara dalam berbagai daerah pemilihan.sisa suara pemilih tidak hilang melainkan diperhitungangkan dengan jumlah kursi yang belum dibagi, sistem ini disebut juga sistem proposional berdasarkan stelsel dasar.

 

  1. PEMILU ORDE LAMA

Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan.

Pada masa diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan, pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi dibubarkan.

Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”

Tokoh partai PNI

  1. Dr. Tjipto Mangunkusumo
  2.  Mr. Sartono
  3. Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo
  4. Mr. Sunaryo
  5. Soekarno
  6. Moh. Hatta
  7. Gatot Mangkuprojo
  8. Soepriadinata
  9. Maskun Sumadiredja
  10. Amir Sjarifuddin

 

  1. Wilopo
  2. Ali Sastroamidjojo
  3. Djuanda Kartawidjaja
  4. Mohammad Isnaeni
  5. Supeni
  6. Sanusi Hardjadinata
  7. Sukmawati Soekarno
  8. Agus Supartono Supeni

 

 

Tokoh Partai Masyumi

  1. KH Hasyim Asy’arie
  2.  KH Wahid Hasjim
  3. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),
  4. Muhammad Natsir
  5. Syafrudin Prawiranegara
  6. Mr. Mohammad Roem
  7. KH. Dr. Isa Anshari
  8. Kasman Singodimedjo
  9. Dr. Anwar Harjono

Tokoh Partai NU

  1. Syeikh Nawawi al-Bantani
  2.  Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar
  3. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
  4. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
  5. Syeikhona Kholil Bangkalan
  6. Kyai Abdullah Termas
  7. KH. Hasyim As’ari
  8. KH. Wahab Hasbullah
  9. KH. Bisri Syamsuri
  10. KH. Wahid Hasyim
    1. KH. Ahmad Siddiq
    2. KH. As’ad Syamsul Arifin
    3. KH Saifuddin Zuhri
    4. KH. Maksum Ali
    5. KH. Zainul Arifin
    6. KH. Turaichan Kudus
    7. KH. Agus Maksum Jauhari
    8. KH. Bisri Mustafa
    9. KH. Asnawi Kudus
    10. KH. Abbas Djamil Buntet
 

 

Tokoh partai PKI

  1. Mr. Amir Syarifuddin
  2. Maruto Darusma
  3. Tan Ling Djie
  4. Abdulmajid
  5. Muso
  6. Setiadjit

 

Hasil penghitungan suara dalam Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.

Berikut hasil Pemilu 1955:

  • Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)
  • Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%)
  • Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
  • Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)

 

  1. PEMILU ORDE BARU

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Berikut adalah tanggal-tanggal diadakannya pemungutan suara pada Pemilu periode ini.

  1. 1.      2 Mei 1977

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1977 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 2 Mei 1977 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1977-1982.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Golongan Karya (Golkar)
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

  1. 2.      4 Mei 1982

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1982 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 4 Mei 1982 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1982-1987.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Golongan Karya (Golkar)
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

  1. 3.      23 April 1987

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1987 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 23 April 1987 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1987-1992.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Golongan Karya (Golkar)
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan  Karya

.

  1. 4.      9 Juni 1992

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1992 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 Juni 1992 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1992-1997.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Golongan Karya (Golkar)
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya.

  1. 5.      29 Mei 1997

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 1997 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 29 Mei 1997 untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Tingkat I Propinsi maupun DPRD Tingkat II Kabupaten/Kotamadya) se-Indonesia periode 1997-2002. Pemilihan Umum ini merupakan yang terakhir kali diselenggarakan pada masa Orde Baru.

Pemilihan Umum ini diikuti 2 partai politik dan 1 Golongan Karya, yaitu:

  1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
  2. Golongan Karya (Golkar)
  3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Sebagai pemenang mayoritas hasil pemilihan umum ini adalah Golongan Karya. Pemilu ini diwarnai oleh aksi golput oleh Megawati Soekarnoputri, yang tersingkir sebagai Ketua Umum PDI yang tidak diakui rezim pemerintah waktu itu.

 

  1. PEMILU MASA REFORMASI

Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi. Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama.

Pemilu pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan. Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P. Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.

Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.

Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P, tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95 persen.

PEMILU 2009

Diikuti oleh 38 partai ditambah 2 partai lokal aceh. pada pemilu kali ini muncul kejutan yaitu nunculnya prabowo subianto sebagai tokoh pendatang baru. pemilu ini dimenangkan oleh SBY bersama Boediono.

CAPRES-CAWAPRES:

  1. Mega-prabowo
  2. SBY-Boediono
  3. JK-Wiranto