Konfigurasi Politik Hukum Era Reformasi

KONFIGURASI POLITIK HUKUM Era Reformasi

Abdul Rouf                 : (11220080)

Holilatul Magfiroh       : (11220091)

Mohammad Abrori S  : (11220095)

Bani Idris H                 : (12220156)

 

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2014


 

DAFTAR ISI

Daftar isi…………………………………………………………………………………….. 1

BAB I Pendahuluan…………………………………………………………………… 2

Latar Belakang……………………………………………………………………………. 2

Rumusan Masalah……………………………………………………………………….. 3

Tujuan Penulisan…………………………………………………………………………. 3

BAB II Pembahasan………………………………………………………………….. 4

Pengertian Konfigurasi Politik………………………………………………………. 4

Perubahan Undang-Undang Dasar Pasca Reformasi………………………… 6

Penghapusan Tap MPR………………………………………………………………… 11

  1. Kedudukan MPR Pasca Amandemen UUD 1945…………………. 15

Komisi Yudisial Pasca Reformasi………………………………………………….. 17

  1. Lembaga Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia 19
  2. Fungsi Komisi Yudisial………………………………………………… 19
  3. Tugas Komisi Yudisial…………………………………………………. 21
  4. Kewajiban Komisi Yudisial………………………………………….. 23
  5. Organisasi Komisi Yudisial………………………………………………… 24

Pengertian Otonomi Daerah………………………………………………………….. 25

Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah………………………………………………. 28

BAB III Penutup……………………………………………………………………….. 31

Kesimpulan…………………………………………………………………………………. 31

Saran………………………………………………………………………………………….. 33

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………….. 34

 


 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Reformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar (core values) atau indeks (indices) demokrasi.Nilai-nilai dasar demokrasi bertumpu pada 5 indeks utama yaitu : system pemilihan yang jujur dan adil untuk jabatan-jabatan publik, keberadaan pemerintah yang terbuka, akuntabel dan responsive, promosi dan perlindungan HAM (khususnya HAM sipil dan politik), keberadaan masyarakat yang penuh percaya diri (civil society) dan eksistensi kepemimpinan yang “committed” pada nilai-nilai dasar demokrasi. Tanpa adanya komitmen terhadap nilai-nilai universal tersebut akan terjadi “political malpractice” yang bersifat subyektif, “sub-standard”, yang merugikan kehidupan bangsa dan negara. Dalam praktek dan tanpa adanya standard yang baku, negara yang paling otoriterpun akan menyatakan dirinya sebagai negara demokratis.[1]

Secara ideal demokrasi menunjuk lebih dari sekedar mesin politik (political machinery), tetapi juga mengandung  pandangan hidup (way of living) suatu masyarakat. Tinggi rendahnya  standar demokrasi  tergantung dari pelbagai factor pendukung (facilitating conditions), seperti tingkat kemajuan social-ekonomi, kualitas golongan menengah (intermediate structure) dan kualitas kepemimpinan, serta penafsiran tentang makna relativisme cultural. Pokoknya “there is probably no single  word which has been more meanings than democracy”.

Politik dan kekuasan (politic and power) tak dapat dipisahkan, sebab politik  akan selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai  konflik kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa  yang membedakan politik negara (politics of the state) dan politik organisasi lain dalam masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya  dengan menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi  dan kekuatan yang sah berdasarkan hukum.

Dalam sistem politik (political system), para  pengambil keputusan (decision makers) selalu mempertimbangkan masukan (input)  berupa tuntutan (demands)  dari kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) dan dukungan (support)  masyarakat yang percaya pada ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi (conversion process), mereka merumuskan keluaran (outputs)  berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan (decisions and actions) antara lain dalam bentuk yang utama yaitu :  pelbagai produk hukum (laws) dan pelbagai kebijakan umum (general policies). Apabila ingin “survive” maka setiap sistem politik harus memperhatikan umpan balik (feed back). Kesimpulannya adalah hukum pada dasarnya merupakan produk sistem politik (the product of political system).[2]

  1. Rumusan Masalah
  2. Apakah pengertian dari konfigurasi politik hukum itu?
  3. Bagaimanakah efektivitas dari perubahan Undang-Undang pasca Reformasi?
  4. Bagaimana pengruh dihapuskanya Tap MPR?
  5. Bagaimanakah peran dari komisi yudisial pasca reformasi?
  6. Apa pengertian dan fungsi dari Otonomi Daerah?
  7. Tujuan Penulisan
  8. Memahami secara mendalam tentang konfigurasi politik hukum.
  9. Mengetahui positif dan negatif dari perubahan Undang-Undang pasca revormasi.
  10. Dapat memahami efek dari dihapuskannya Tap MPR
  11. Menambah wawasan mengenai fungsi, tugas dan kewenangan Komisi yudisial.
  12. Memahami secara mendalam serta mengetahui fungsi dari Otonomi Daerah.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Konfigurasi Politik

Seperti yang dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pasca pemilu 1999 peranan partai politik di Indonesia kembali menguat, karena tidak adanya satu partai pun yang menguasai suara mayoritas di parlemen yakni MPR dan DPR dan juga karena iklim demokrasi sudah menyelimuti kehidupan politik di Indonesia sejak era reformasi bergulir di Indonesia. Tatanan politik pun berubah seiring dengan semakin berkurangnya peran dan dwifungsi ABRI dalam ketatanegaraan.

Pengangkatan anggota ABRI yang terdiri dari TNI dan POLRI sudah kurang pada periode sebelumnya. Dari 75 kursi yang tersedia menjadi 38 kursi di parlemen. Di MPR tidak ada lagi pengangkatan tambahan selain yang berasal dari DPR, yaitu melalui utusan daerah. Jumlah anggota DPR pasca pemilu 1999 sebanyak 500 orang, 462 orang duduk melalui pemilihan umum sedangkan 38 orang merupakan pengangkatan wakil ABRI. Sedangkan anggota MPR berjumlah 700 orang, 500 orang dari anggota DPR, 125 orang utusan daerah, dan 75 orang utusan golongan. Semua anggota MPR dari utusan daerah, karena memang dipilih oleh DPRD sehingga umumnya orang partai bergabung dengan partainya dari DPR menjadi satu fraksi di MPR. Tetapi anggota MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang dengan komposisi, sebagai berikut :

  1. Reformasi adalah gabungan dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
  2. Kesatuan Kebangsaan Indonesia adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
  3. Perserikatan Daulatul Ummah adalah gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
  4. Komposisi keanggotaan DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang). Dalam perkembangan selanjutnya, antar partai pun bergabung untuk dapat membentuk suatu fraksi yang memenuhi persyaratan sebagaiman yang telah ditentukan.

Dari konfigurasi politik yang demokratis tetapi tidak ada satu partai yang menguasai mayoritas di parlemen (dalam DPR), seperti yang telah diuraikan diatas, maka akan sulit bagi suatu fraksi untuk menggolkan programnya tanpa berkoalisi dengan fraksi-fraksi lainnya sampai tercapai mayoritas di kedua lembaga negara tersebut. Demikian juga halnya dengan eksekutif adalah sulit bagi presiden untuk menggolkan rancangan UU yang diajukan ke DPR. Dan disisi lain, demikian pula terjadi dalam setiap sidang tahunan MPR, presiden harus dapat pula menampung aspirasi-aspirasi fraksi-fraksi di MPR agar ia tidak kesulitan dalam meloloskan program dan pertanggungjawabannya. Seblum amandemen ketiga UUD 1945 tahun 2001 dan yang keempat tahun 2002. Sesudah tahun 2002, presiden tidak lagi bertanggungjawab kepada MPR seperti pada masa sebelumnya. Presiden dapat diberhentikan MPR hanya bila melanggar hukum bukan karena masalah politik.

Dengan konfigurasi politik seperti itu, peranan partai politik menguat kembali seperti pada masa liberal dulu. DPR dan pemerintah telah menetapkan undang-undang tentang pemilu dan susunan DPR, DPRD, DPD dan pemilu langsung sebagaimana para masa terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Dalam undang-undang baru tersebut, tidak ada lagi pengangkatan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Partai politik diberi peranan yang besar dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD, serta pemilihan presiden dan wakil persiden, perorangan untuk pemilihan anggota DPD. Kondisi seperti ini akan membangun peranan partai politik secara kokoh ke depannya. Sebaliknya, peranan POLRI dan ABRI akan semakin menurun. Dwifungsi ABRI yang dominan dan telah pula diformalkan pada masa Orde Baru ditiadakan melalui UU yang baru. Militer dibebaskan dari tugas-tugas politik (“kembali kebarak”), dan dikonsentrasikan kepada tugas-tugas pertahanan dan membantu polisi dalam menegakkan keamanan atas permintaan polisi.

Walaupun dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden bebas menentukan dan mengangkat menteri-menterinya, tetapi karena Presiden RI, pada era kepemimpinan SBY, partai politik tidak ada yang mempunyai suara dominan di parlemen, hal ini telah berdampak negatif pada kontrak politik secara diam-diam antar partai tertentu dalam menentukan masing-masing menteri yang akan direkrut. Sedangkan pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid, saat membentuk kabinetnya mengikuti konfigurasi politik di DPR dan MPR, dikarenakan di masing-masing lembaga tersebut tidak memilik suara partai politik yang dominan pula. Menurut seperti alur yang telah disebutkan, tindakan Abdurahman Wahid yang kemudian menggantikan meteri-menteri untuk selanjutnya dipilih sendiri olehya, maka hal ini yang menjadi faktor utama dia diberhentikan apda masa itu, sehingga menghasilkan sidang istimewa tahun 2001, sedangkan pada masa pemerintahan Megawati yang menggantikan, jelas bahwa dalam menentukan menteri-menterinya, dia mengikuti konfigurasi dan taat asas serta skenario konfigurasi politik tersebut diatas, itulah sebabnya ia menyebukan kabinetnya dengan nama kabinet gotong royong.

  1. Perubahan Undang-Undang Dasar Pasca Reformasi

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR[3] :

Perubahan Pertama UUD 1945 adalah perubahan pertama pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999.

  1. Perubahan Pertama menyempurnakan pasal-pasal berikut:
  2. Pasal 5, Pasal 7,  Pasal 9, Pasal 13,  Pasal 14, Pasal 15,  Pasal 17, Pasal 20,  Pasal 21.
  3. isi dari pasal 7 adalah sebagai berikut :

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”

menjadi

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

  1. Perubahan Kedua UUD 1945

Adalah perubahan kedua pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000.

Perubahan Kedua menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut:

  1. Pasal 18
  2. Pasal 18A
  3. Pasal 18B
  4. Pasal 19
  5. Pasal 20
  6. Pasal 20A
  7. Pasal 22A
  8. Pasal 22B
  9. BAB IXA WILAYAH NEGARA
  • Pasal 25E
  1. 10 BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK
  • Pasal 26
  • Pasal 27
  1. 11 BAB XA HAK ASASI MANUSIA
    • Pasal 28A
    • Pasal 28B
    • Pasal 28C
    • Pasal 28D
    • Pasal 28E
    • Pasal 28F
    • Pasal 28G
    • Pasal 28H
    • Pasal 28 I
    • Pasal 28J
  2. BAB XII PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA
  • Pasal 30
  1. BAB XV BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
    • Pasal 36A
    • Pasal 36B
    • Pasal 36C
  2. Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945adalah sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 tanggal 1–9 November 2001.

Perubahan Ketiga menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut :

  1. Pasal 1
  2. Pasal 3
  3. Pasal 6
  4. Pasal 6A
  5. Pasal 7A
  6. Pasal 7B
  7. Pasal 7C
  8. Pasal 8
  9. Pasal 11
  10. Pasal 17
  11. BAB VIIA DEWAN PERWAKILAN DAERAH
  • Pasal 22C
  • Pasal 22D
  1. BAB VIIB PEMILIHAN UMUM
    • Pasal 22E
    • Pasal 23
    • Pasal 23A
    • Pasal 23C
  2. BAB VIIIA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
    • Pasal 23E
    • Pasal 23F
    • Pasal 23G
  • Pasal 24
  • Pasal 24A
  • Pasal 24B
  • Pasal 24C
  1. Perubahan Keempat UUD 1945adalah perubahan keempat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002. Perubahan Keempat menyempurnakan dan menambahkan pasal-pasal berikut :
  2. Pasal 2
  3. Pasal 6A
  4. Pasal 8
  5. Pasal 11
  6. Pasal 16
  7. BAB IV DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG
  • Pasal 23B
  • Pasal 23D
  • Pasal 24
  1. BAB XIII PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
    • Pasal 31
    • Pasal 32
  2. BAB XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
    • Pasal 33
    • Pasal 34
    • Pasal 37
  3. ATURAN PERALIHAN
    • Pasal I
    • Pasal II
    • Pasal III
  4. ATURAN TAMBAHAN
    • Pasal I
    • Pasal II

Dasar pemikiran yang melatar belakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain[4]:

  1. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undangundang.
  2. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu luwes (fleksibel) sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
  3. Kedudukan penjelasan UUD 1945 sering kali diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 memiliki beberapa tujuan, antara lain:

  1. menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan  paham demokrasi;
  3. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945;
  4. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern.
  5. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti  pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
  6. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan bangsa dan negara.

Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang penting dipahami. Kesepakatan tersebut adalah: (a) tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; (b) tetap mempertahankan NKRI; (c) mempertegas sistem pemerintahan presidensial; (d) penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif; (e) akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).

  1. Penghapusan Tap MPR

Sebelum dilakukan amandemen ketiga, Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sehingga dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai mandataris MPR dan mempunyai garis pertanggung jawaban kepada MPR berdasarkan Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat oleh MPR melalui Ketetapan MPR (Tap MPR). Hal inilah yang menjadi dasar kenapa MPR mempunyai wewenang membentuk Tap MPR sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 pra amandemen, yaitu “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan Negara”.Pertanggungjawaban Presiden terhadap MPR itu juga didasarkan pada adanya struktur kekuasaan Negara yang menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara (supreme) sebagai pemegang kedaulatan rakyat sehingga segala proses penyelenggaraan Negara dapat dilakukan pengawasan oleh MPR termasuk dalam proses penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Kewenangan pembentukan Tap MPR dan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi Negara itu kemudian dihapus sejak amandemen ketiga UUD 1945. Penghapusan kewenangan pembentukan Tap MPR ini didasarkan alasan untuk memperkuat sistem presidensial, dimana Presiden dan Wakil Presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR dan tidak mempunyai garis pertanggungjawaban terhadap MPR dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Garis pertanggungjawaban Presiden dan Wakil Presiden sekarang langsung kepada rakyat berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UUD 19453. Kedudukan MPR juga bukan lagi sebagai lembaga tertinggi Negara tetapi bergeser sebagai lembaga Negara yang kedudukannya sama dengan lembaga-lembaga Negara lainnya seperti DPR, MA, MK, dan lainnya.

Penghapusan wewenang pembentukan Tap MPR itu diatur dalam Pasal 3 amandemen ketiga UUD 1945. Dalam Pasal 3 amandemen ketiga UUD 1945 ini tidak menyebutkan lagi adanya wewenang pembentukan Tap MPR. kewenangan MPR sekarang berdasarkan Pasal 3 amandemen ketiga UUD 1945 tersebut adalah :

  1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
  2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  3. Dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.[5]

Bersadarkan ketentuan UUD 1945 di atas sangat jelas bahwa kewenangan pembentukan Ketetapan oleh MPR sudah dihapus dalam sruktur peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini yang melatarbelakangi diaturnya ketentuan dalam Pasal 1 Aturan Peralihan amandemen keempat UUD 1945 yang berbunyi : “Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003”.

Berdasarkan Pasal 1 Aturan Peraliha amandemen keempat UUD 1945 di atas, maka dalam sidang tahunan MPR tahun 2003, MPR mengeluarkan Tap MPR Nomor 1/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1966 sampai dengan tahun 2002. Dalam Tap ini mengelompokkan 139 Tap MPRS dan Tap MPR yang sudah ada ke dalam enam kelompok status baru, yaitu:

  1. Yang di cabut dan dinyatakan tidak berlaku selama 8 Tap;
  2. Yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan tertentu sebanyak 3 Tap;
  3. Yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya pemerintahan hasil pemilu sebanyak 8 Tap;
  4. Yang dinyatakan tetap berlaku sampai terbentuknya undang-undang sebanyak 11 Tap;
  5. Yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan tata tertib baru oleh MPR hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 5 Tap;
  6. Yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut baik karena bersifat final (einmalig), telah di cabut, maupun telah selesai dilaksanakan sebanyak 104 Tap.

Dengan dihapuskannya wewenang pembentukan Tap MPR berdasarkan Pasal 3 Amandemen ketiga UUD 1945, bukan berarti MPR tidak diperbolehkan untuk membentuk Tap MPR, akan tetapi masih tetap diperbolehkan hanya sebatas ketetapan MPR mengenai pelantikan maupun pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Ini berarti bahwa Tap MPR tidak lagi bersifat mengatur secara umum (regeling) akan tetapi sudah bersifat konkrit dan individual (beschiking)4.

Ketentuan bahwa Tap MPR bersifat beschiking diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa yang dimaksud dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling hanya meliputi:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah.

Berdasarkan ketentuan diatas sangat jelas bahwa Tap MPR tidak lagi termasuk dalam bagian jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang bersifat regeling. Status hukum Tap MPR yang bersifat beschiking ini berubah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Th. 2011), sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dinyatakan tidak berlaku. Menurut UU No.12 Th. 2011 bahwa Tap MPR merupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ditempatkan di bawah UUD 1945. Ini berarti Tap MPR tidak lagi hanya bersifat beschiking tetapi juga bersifat regeling. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Th. 2011 bahwa yang dimaksud hirarki peraturan perundang-undangan meliputi:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
  2. Ketepan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi;
  7. Paraturan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Dengan adanya perubahan status hukum dari pada Tap MPR yang awalnya hanya sebatas beschiking tetapi sekarang juga dimasukkan dalam jenis regeling berdasarkan UU No.12 Th. 2011, maka salah satu implikasi yuridisnya adalah bagaimana jika Tap MPR itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945? Apakah Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk memeriksa dan mengadili terhadap Tap MPR yang bersifar regeling dan dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Karena secara tekstual wewenang MK hanya dapat melakukan pengujian terhadap undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945 (constitutional review), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

  1. Kedudukan MPR Pasca Amandemen UUD 1945

Gerakan reformasi tersebut telah melahirkan beberapa perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia (human rights) bagi warga negara Indonesia. Perubahan sistem ketatanegaraan tersebut telah termanifestasikan di dalam Amandemen UUD 1945 yang merupakan aturan dasar negara (staadsgrunndgesetz) Indonesia.

Perubahan sistem ketatanegaraan sebagaimana telah dirumuskan di dalam Amandemen UUD 1945 tersebut adalah terkait dengan perubahan struktur dan fungsi dari lembaga kenegaraan di Indonesia, baik di dalam kekuasan legislatif, kekuasaan eksekutif maupun di dalam kekuasaan yudikatif. Perubahan tersebut sebagai wujud pelaksanaan gagasan check and balances antar pelaksana ketiga macam kekuasaan negara. Jika sebelum Amandemen ketiga UUD 1945, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara (supreme) yang melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya, maka pada Amandemen ketiga UUD 1945 kedudukan MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan sebagai lembaga negara yang sama seperti lembaga negara lainnya.

Kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara sebelum amandemen UUD 1945 didasarkan pada faham integralistik yang diajukan oleh Soepomo. Faham integralistik ini mengatakan bahwa “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah negara yang berdasar pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya”.5 Menurut Faham integralistik ini, di dalam struktur ketatanegaraan Indonesia harus ada satu lembaga yang menaungi semua lembaga-lembaga negara sebagai puncak dari kekuasan negara untuk melaksanakan kedaulatan rakyat dan mewakili kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Setelah amandemen ketiga kedudukan MPR kemudian bergeser dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga negara sama dengan lembaga negara lainnya. Oleh karena ini MPR bukan lagi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) amandemen ketiga UUD 1945 bahwa ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pergeseran kedudukan MPR ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) yang berbunyi : ”MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”[6].

MPR mempunyai kewenangan yang secara rinci ditentukan di dalam Pasal 4 UU MD3 yang berbunyi :[7]

  1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
  3. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
  5. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan
  6. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
    pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
  1. Komisi Yudisial Pasca Reformasi

Komisi Yudisial  adalah lembaga Negara yang dibentuk dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang ditetapkan oleh undang-undang dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu  pada bab kekuasaan kehakiman yaitu pasal 24B UUD 1945[8].

Latar belakang dibentuknya Komisi Yudisial sebagaimana dikutip dalam A. Ahsin Thohari, dikatakan bahwa pembentukan Komisi Yudisial muncul akibat dari lima hal sebagai berikut:

  1. Lemahnya monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja.
  2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung (mediator) antara kekuasaan pemerintah (executive power)– dalam hal ini Departemen Kehakiman- dan kekuasaan kehakiman (judicial power).
  3. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non hukum.
  4. Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
  5. Pola rekrutmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga politik, yaitu Presiden dan Parlemen[9].

Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial, sebagaimana pula dikemukakan oleh A. Ahsin Thohari yaitu sebagai berikut:

  1. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah agar dapat melakukan monitoring secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja.
  2. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power)dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan pemerintah[10].
  3. Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power)akan semakin tinggi dalam banyak hal baik yang menyangkut rekrutmen dan monitoring hakim agung serta pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman.
  4. Dibentuknya Komisi Yudisial adalah untuk menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Disini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.

Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekrutmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri atau bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan hakim yang ada.

  1. Lembaga Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
  • Fungsi atau Wewenang Komisi Yudisial

Dalam pasal 24B ayat (1) hasil perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 disebutkan bahwa komisi yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Dengan mengacu pada pasal 24B ayat (1) tersebut diatas, terdapat dua fungsi utama Komisi Yudisial yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu:

  1. Mengusulkan Hakim Agung
  2. Menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Kemudian kedua fungsi Komisi Yudisial yang diberikan oleh UUD 1945 tersebut diadopsi oleh undang-undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial sebagai implementasi amanat dari UUD 1945. Hal ini terdapat dalam pasal 13 pada UU No. 22 tahun 2004. Dalam pasal 13 tersebut disebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai wewenang :

  • Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat
  • Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Disini terdapat perbedaan istilah yang terjadi antara UUD 1945 dengan UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Perbedaan itu terletak pada istilah pengambilan kata fungsi dan wewenang. Hal ini UU No. 22 tahun 2004 menggunakan kata wewenang tanpa menjelaskannya.

Namun, mengacu pada hasil penelitian Mahkamah Agung disebutkan bahwa penggunaan istilah fungsi kuranglah tepat, yang tepat ialah menggunakan istilah wewenang, karena kata wewenang ini biasanya diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atau suatu badan untuk dapat menjalankan tugas. Oleh karena itu, yang tepat adalah menggunakan istilah wewenang[11].

Dari uraian diatas, terlihat bahwa kewenangan Komisi Yudisial ini terlalu sempit, tidak seperti halnya wacana yang berkembang ketika perubahan UUD 1945, dimana usulan-usulan itu tidak hanya terbatas pada hakim agung, namun hakim-hakim di pengadilan hingga hakim Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi.

Begitupun hasil tim kerja terpadu mengenai pengkajian pelaksanaan TAP MPR No. X/ MPR/ 1998 berkaitan dengan pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif yang hampir seluruhnya diadopsi oleh UU No. 35 tahun1999 tentang perubahan atas UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam hasil rekomendasi tim kerja terpadu dan UU No. 35 tahun1999 bahwa Komisi Yudisial berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai rekrutmen, promosi dan mutasi serta menyusun code of conduct bagi hakim.

Sempitnya wewenang Komisi Yudisial dalam UUD 1945 hasil perubahan ketiga itu memang bisa saja wewenang “dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” diartikan elastis, termasuk misalnya melakukan rekrutmen dan mutasi/ promosi hakim. Namun memperhatikan pilihan kalimat dan konsensus yang berkembang dalam sebuah wacana, maksud dari fungsi tersebut lebih mengarah pada tugas pengawasan dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung)[12].

Langkah tersebut ternyata mendapatkan sambutan dalam UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang diatur dalam pasal 20, akan tetapi wewenang pengangkatan (rekrutmen) hakim, mutasi dan promosi hanya terbatas pada hakim agung saja tidak kepada seluruh hakim.

Namun terlepas dari kelemahan proses penentuan, wewenang yang akan diemban oleh Komisi Yudisial. Setidaknya keberadaan, dua fungsi “utama” Komisi Yudisial tersebut, yaitu rekrutmen hakim agung dan pengawasan serta pendisiplinan, diharapkan dapat membawa angin segar untuk melakukan upaya pembenahan peradilan di Indonesia.

  • Tugas Komisi Yudisial

Pasal 14 ayat (1) UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial menyebutkan bahwa dalam rangka menjalankan wewenang Komisi Yudisial tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 13, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas[13] :

  • Melakukan pendaftaran calon hakim agung
  • Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung
  • Menetapkan calon hakim agung
  • Mengajukan calon hakim agung ke DPR

Sementara itu, dalam pasal 20 UU No. 22 tahun 2004 disebutkan bahwa dalam rangka melaksanakan wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebutkan dalam pasal 13 huruf b, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Kemudian dalam pasal 21 disebutkan juga bahwa untuk kepentingan pelaksanaan pengawasan tersebut Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi terhadap hakim kepada pimpinan Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, Komisi Yudisial sebagaimana disebutkam dalam pasal 22 ayat (1) UU No. 22 tahun 2004 mempunyai tugas :

  • Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim
  • Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim
  • Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim
  • Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.

Dan dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (1) tersebut, Komisi Yudisial wajib :

  • Menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  • Menjaga kerahasiaan keterangan yang Karena sifatnya merupakan rahasia Komisi   Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
  1. Kewajiban Komisi Yudisial

Dalam UU No. 22 tahun 2004 terdapat beberapa kewajiban yang dimiliki Komisi Yudisial dalam rangka melaksanakan tugas mengusulkan calon hakim agung yaitu sebagai berikut :

  1. Komisi Yudisial mengumumkan pendaftaran penerimaan calon hakim agung (pasal 15 ayat (1)) kepada masyarakat dan disini Mahkamah Agung, pemerintah, dan masyarakat berhak  untuk mengajukan calon hakim agung kepada Komisi Yudisial (pasal 15 ayat (2).
  2. Komisi Yudisial meminta kesediaan calon hakim agung untuk memenuhi persyaratan administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (pasal 16 ayat (1). Persyaratan-persyaratan tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 16 ayat (2) sekurang-kurangnya berupa:
  • Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan
  • Ijazah asli atau yang telah dilegalisir
  • Surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah
  • Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon
  • Nomor pokok wajib pajak
  1. Komisi Yudisial melakukan seleksi persyaratan administrasi calon hakim agung (pasal 17 ayat (1).
  2. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon hakim agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi (pasal 17 ayat (2)) dan disini masyarakat diberikan hak untuk memberikan informasi atau pendapat terhadap calon hakim agung (pasal 17 ayat (3).
  3. Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat (pasal 17 ayat (4).
  4. Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon hakim agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan (pasal 18 ayat (1)), seleksi ini dilakukan secara terbuka (pasal 18 ayat (4).
  5. Komisi Yudisial mewajibkan calon hakim agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan (pasal 18 ayat (2).

Komisi yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan hakim agung, dengan memberikan tembusan kepada Presiden (pasal 18 ayat (5).

  1. Organisasi Komisi Yudisial
  • Status Komisi Yudisial

Dalam pasal 24B ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 ditentukan secara tegas bahwa Komisi Yudisial adalah lembaga yang bersifat mandiri. Selanjutnya ditegaskan bahwa kemandirian Komisi Yudisial yang dimaksud, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 2 UU No. 22 tahun 2004, ialah bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya dalam pelaksanaan wewenangnya. Kemudian dalam penjelasan UU No. 22 tahun 2004 tersebut juga dikatakan bahwa Komisi Yudisial walaupun bukan pelaku kekuasaan kehakiman, namun Komisi Yudisial mempunyai fungsi kekuasaan kehakiman. Fungsi Komisi Yudisial yaitu mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga, dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

  • Struktur organisasi Komisi Yudisial

Pasal 4 UU No. 22 tahun 2004 menyebutkan bahwa Komisi Yudisial terdiri atas pimpinan dan anggota. Yang dimaksud dengan pimpinan Komisi Yudisial ialah terdiri atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang merangkap anggota (pasal 5). Pimpinan Komisi Yudisial ini dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial  (pasal 7 ayat (1)). Sedangkan mengenai jumlah anggota Komisi Yudisial, pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai 7 (tujuh) orang anggota dan status dari anggota Komisi Yudisial adalah sebagai pejabat Negara (pasal 6 ayat (2)

Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (3) disebutkan pula bahwa komposisi keanggotaan Komisi Yudisial terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

Kemudian dalam melaksanakan tugasnya Komisi Yudisial dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretariat jenderal (pasal 11 ayat (1). Dan status sekretaris jenderal ini ialah sebagai pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) (pasal 11 ayat (2).

  • Komisi Yudisial dalam Sistem ketatanegaraan Indonesia

Komisi Yudisial merupakan sebuah lembaga yang bersifat mandiri yang diatur UUD 1945 hasil perubahan ketiga yang dimasukkan pada Bab IX tentang kekuasaan kehakiman. Namun demikian, walaupun Komisi Yudisial dimasukkan dalam bab yang mengatur kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman, akam tetapi Komisi Yudisial mempunyai fungsi-fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam pasal 24B ayat (1. Dalam pasal 24B ayat (1) tersebut dikatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

  1. Pengertian Otonomi Daerah

Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).[14]

Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :

  1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
  2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
  3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.

Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.

Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.[15]

Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :

  1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
  2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
  3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.

Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.

Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :

  1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
  2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya
  3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
  4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.

Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.[16]

Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.

Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman daerah. Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22  tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,  agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.

Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[17]

Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :[18]

  1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang terbatas.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
  3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
  4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
  5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
  6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
  7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
  8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskannya.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :

  1. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
  2. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

Dari pemaparan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa :

  1. Komposisi MPR yang dilantik pada Oktober 1999 hanya berjumlah 695 orang, sebagai berikut :
  • Reformasi adalah gabungan dari Partai Amanat Nasional dan Partai Keadilan;
  • Kesatuan Kebangsaan Indonesia adalah gabungan dari PKP, PDI, PKD, PBI, IPKI, PNI, PM dan PP;
  • Perserikatan Daulatul Ummah adalah gabungan dari Partai NU, PSII, Masyumi, PDR dan PKU
  • Komposisi keanggotaan DPR berdasarkan hasil pemilu tahun 1999 dan penggabungan untuk dapat membentuk fraksi di DPR (berdasarkan ketentuan tata tertib di DPR untuk dapat membentuk fraksi maka anggota DPR yang bergabung minimal 10 orang).
    1. Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan (amandemen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR.
    2. Status hukum Tap MPR yang bersifat beschiking ini berubah dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12 Th. 2011), sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 yang telah dinyatakan tidak berlaku. Menurut UU No.12 Th. 2011 bahwa Tap MPR merupakan bagian dari jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yang ditempatkan di bawah UUD 1945.
    3. Dengan mengacu pada pasal 24B ayat (1) tersebut diatas, terdapat dua fungsi utama Komisi Yudisial yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu: Mengusulkan Hakim Agung dan Menjaga, menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
    4. tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
  1. Saran

Makalah ini hanya berisi tentang sekumpulan pendapat dari penbagai literatur yang terdapat dalam buku, majalah ataupun internet. Semoga apa yang ada dalam pembahasan diatas bisa memberi ilmu yang bermanfaat dan wawasan yang bertambah luas bagi para pembaca meskipun hanya berisi coretan-coretan kecil. Untuk pemakalah yang akan menyampaikan materi yang sama diharap bisa mengembangkan lagi pembahasan ke arah yang lebih luas.

Apabila ada kesemaan pendapat atau tulisan yang di atas mohon maaf untuk sebesar-besarnya karena ini coretan untuk menambah sedikit wawasan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
  • Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005)
  • http://febriarahma-dewi.blogspot.com/2012/03/amandemen-undang-undang-dasar-setelah.html diakses tanggal 1 desember 2014 jam 09.55WIB
  • https://www.academia.edu/6925386/SEJARAH_KONSTITUSI_INDONESIA_DAN_PERUBAHAN_ATAS_UNDANG-UNDANG_DASAR_1945_Upaya_Pencarian_Jati_Diri_Bangsa_Indonesia_Disusun_untuk_Memenuhi_Tugas_Terstruktur_I_Mata_Kuliah_Hukum_Tata_Negara diakses tanggal 1 desember 2014 jam 09.55WIB
  • Mahfud MD., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hlm. 37
  • undang-undang dasar Republik Indonesia 1945
  • Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta : ELSAM 2004),
  • Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan,
  • Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial (Jakarta : Mahkamah Agung 2003),
  • Mahkamah Agung Republik Indonesia,
  • Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2004 pasal 14 tentang komisi yudisal
  • Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003).
  • Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005).
  • Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005).
  • Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
  • Suparto Wijoyo, OTODA Dari Mana DImulai, (Surabaya: Percetakan Ynair)

 

[1] Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 42‐45.

[2] Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005)h. 9

[3] http://febriarahma-dewi.blogspot.com/2012/03/amandemen-undang-undang-dasar-setelah.html diakses tanggal 1 desember 2014 jam 09.55WIB

[4] https://www.academia.edu/6925386/SEJARAH_KONSTITUSI_INDONESIA_DAN_PERUBAHAN_ATAS_UNDANG-UNDANG_DASAR_1945_Upaya_Pencarian_Jati_Diri_Bangsa_Indonesia_Disusun_untuk_Memenuhi_Tugas_Terstruktur_I_Mata_Kuliah_Hukum_Tata_Negara diakses tanggal 1 desember 2014 jam 09.55WIB

[5] Moh. Mahfud MD., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hlm. 37

[6] Moh. Mahfud MD., Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 2001), hlm. 35

[8] undang-undang dasar Republik Indonesia 1945

[9] A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta : ELSAM 2004), hlm. 144-145.

[10] A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, hlm. 147-148

[11] Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Komisi Yudisial (Jakarta : Mahkamah Agung 2003),hlm. 20

[12] Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 26

[13] Undang-undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2004 pasal 14 tentang komisi yudisal

[14] Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003)h. 48

[15] Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005) h. 3

[16] Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Harris (ed.) Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2005): 15

[17] Pratikno, “Desentralisasi: Pilihan yang Tidak Pernah Final,” dalam Abdul Gaffar Karim (ed.) Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 55

[18]Suparto Wijoyo, OTODA Dari Mana DImulai, (Surabaya: Percetakan Ynair) h. 25

Leave a comment